1. pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb.).
2. pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar.
3. janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu), maka teks mengenai ucapan Gajah Mada yang terdapat dalam Serat Pararaton yang berbunyi :
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahannya:
Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.
Itu jelas sekali sebagai sebuah sumpah setidaknya jika parameter yang digunakan adalah buku Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas. Maka jelaslah sekarang jika teks dalam Serat Pararaton itu bisa dikategorikan sebagai sebuah sumpah karena ketiga pengertian tersebut di atas, baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan dapat dipakai dalam konteks pengertian Sumpah.
Sebuah ungkapan apalagi sebuah sumpah kalau dikaji benar-benar menawarkan bentuk, isi, nilai, ideologi, dan enerji. Dari sisi bentuk Sumpah Palapa adalah prosa. Sedangkan isinya mengandung pernyataan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diucapkan oleh Gajah Mada di hadapan ratu Majapahit Tribuwana Tunggadewi dengan disaksikan oleh para menteri dan pejabat-pejabat lainnya, yang substansinya Gajah Mada baru mau melepaskan (menghentikan) puasanya apabila telah terkuasai Nusantara. Sayangnya tidak diterangkan di dalam teks tersebut tentang jenis puasa dan berapa lama pelaksanaan puasanya itu (keterangan tentang terjemahan amukti palapa,lihat Budya Pradipta, 2003).
Dari sisi nilai Sumpah Palapa mengandung pelbagai nilai : nilai kesatuan dan persatuan wilayah Nusantara, nilai historis, nilai keberanian, nilai percaya diri, nilai rasa memiliki kerajaan Majapahit yang besar dan ber-wibawa, nilai geopolitik, nilai sosial budaya, nilai filsafat, dsb.
Dari sisi ideologi, Sumpah Palapa yang juga dikenal sebagai Sumpah Gajah Mada atau Sumpah Nusantara. Sumpah Palapa memiliki ideologi kebineka tunggal ikaan, artinya menuju pada ketunggalan keyakinan, ketunggalan ide, ketunggalan senasib dan sepenanggungan, dan ketunggalan iedeologi akan tetapi tetap diberi ruang gerak kemerdekaan budaya bagi wilayah-wilayah negeri se Nusantara dalam mengembangkan kebahagiaan dan kesejahteraannya masing-masing.
Dari sisi enerji Sumpah Palapa dianugerahi energi Ketuhanan Yang Maha Dasyat karena tanpa energi tersebut tak mungkin Gajah Mada berani mencanangkan sumpah tersebut. Sumpah Palapa akan menjadi sangat menarik lagi apabila dikaji dengan pendekatan komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan seperti : Kepada siapa Sumpah Palapa diucapkan, dalam lingkungan apa (situasi, kondisi, iklim, dan suasana) Sumpah Palapa dicanangkan, dengan sasaran apa dan siapa Sumpah Palapa dideklarasikan, mengapa atau apa perlunya Gajah Mada mengumumkan Sumpah Palapa, dan manfaat apa yang mau dicapai adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab secara seksama. Betapapun Sumpah Gajah Mada itu kontekstual. Tidak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut akan di jawab di sini, namun pertanyaan manfaat apa yang mau dicapai, kiranya perlu dijawab sekarang dengan lebih cermat.
Menurut pemahaman saya Gajah Mada mempunyai kesadaran penuh tentang kenegaraan dan batas-batas wilayah kerajaan Majapahit, mengingat Nusantara berada sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua samudra besar yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, di samping diapit-apit oleh lautan Cina Selatan dan Lautan Indonesia (Segoro Kidul). Dari kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan Nusantara, Gajah Mada meletakkan dasar-dasar negara yang kokoh, sebagaimana terungkap dalam perundang-undangan Majapahit (Slamet Mulyana, 1965 : 56 - 70; 1979 : 182 - 213).
Uraian singkat tersebut dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa kerajaan Majapahit khususnya ketika berada dalam penguasaan Gajah Mada telah berorientasi jauh ke depan, kalau istilah sekarang mempersiapkan diri sebagai negara yang modern, kuat, dan tangguh.
Dari beberapa pengertian diatas maka tak berlebihan kiranya jika sumpah / amukti palapa itu memiliki dimensi spiritual artinya tidak main-main. Oleh sebab itu tidak berlebihan, apabila dikatakan bahwa Sumpah Palapa itu sakral. Lalu pertanyaannya sekarang dimana keutuhan bumi nusantara ini yang konon berlambangkan garuda pancasila dan tertuliskan bhineka tunggal ika sebagai motto dan semboyan bangsa ini.
Kita sedikit kupas tentang Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.
Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha waktu itu dan kini diartikan kerukunan semua umat beragama dan aliran kepercayaan.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Terjemahan ini didasarkan, dengan adaptasi kecil, pada edisi teks kritis oleh Dr Soewito Santoso.
Kesimpulan Kunci Ghaib Sumpah Palapa Gajah Mada: mari kita kembali pada rasa nasionalisme berbangsa dan bernegara serta menjaga keutuhan NKRI dari acaman kehancuran yang dikarenakan pola pikir manusia di negeri ini yang terpengaruh sistem yang berlawan dengan paham ajaran leluhur kita yang mementikan keutuhan dan kerukunan tanpa membedakan ras,suku,bangsa dan agama. Ingat sejarah penyebaran islam yang dibawa oleh bangsa china yakni Wali Songo. Mereka tetap memadukan antara budaya dan agama sehingga suatu hal terjalin harmonis hingga kini. Sumpah Palapa adalah impian yang sudah terwujud dan sekarang giliran kita untuk menjaganya. Bahkan dalam mempelajari ilmu ghaib-pun harus terbuka tidak saklek dalam suatu aliran dengan itu akan membuka wawasan yang luas dan memahami tentang apa yang dipelajarinya. Tidak ada ilmu tingkat tinggi atau ilmu hitam atau putih semua tergantung bagaimana tingginya moral kita sendiri dalam mengamalkan keilmuan yang kita pelajari. Semoga dengan adanya artikel ini kita kembali pada jalan yang benar dan saling menghormati satu dengan yang lainnya, saling tukar kaweruh,mempererat tali silaturahmi sehingga terjalin suatu kesatuan dalam keutuhan berbangsa dan bernegara untuk mencapai Indonesia sebagai mercusuar dunia.
Sumber: arsipbudayanusantara.blogspot.com/id.wikipedia.org/kunciilmughaib.blogspot.com